Sunday, August 5, 2007

Penemuan lagu Indonesia Raya versi Jepang

Indonesia Raya versi Roy Suryo Ternyata tidak baru, banyak kawan dari komunitas internet Indonesia membantah penemuan Roy tersebut diantaranya saya sadur dibawah ini:
Disadur dari http://ryosaeba.wordpress.com
dalam sebuah tulisan di okezone, diberitakan bahwa roy suryo berhasil menemukan pita seluoid asli berisikan rekaman dinyanyikannya lagu indonesia raya di bulan september 1944, yang selama ini tersimpan di sebuah perpustakaan di leiden, belanda. saya tertarik dengan pernyataan ini:
“Selama ini yang kita ketahu (sic) hanya Indonesia Raya dalam satu stanza. Nah ini yang tiga stanza seperti lirik yang saya sampaikan,” tegas pakar telematika Roy Suryo, Jumat (3/8/2007) di warung Bakmi Kadin, Yogyakarta.
sepertinya yang beliau maksud adalah tidak ada rekaman video lain yang memperdengarkan lagu indonesia raya versi yang lengkap, paling hanya satu stanza di awal.
saya coba lihat-lihat ke wikipedia indonesia, entri tentang indonesia raya. di bagian paling akhir ada link video youtube tentang indonesia raya bertanggal 19 desember 2006.
tulisan yang memuat penemuan Roy Suryo tersebut disadur dari www.detik.com
Server Belanda Memuat Lagu Indonesia Raya Versi Pertama
Arry Anggadha - detikInet
Jakarta, Lagu Indonesia Raya yang kita dengarkan saat ini ternyata bukanlah yang pertama kali dimainkan WR Soepratman. Versi asli lagu kebangsaan itu pun akhirnya ditemukan. Tidak di Indonesia, melainkan di Belanda."Saya bersama dengan Tim Air Putih sejak 3 bulan lalu mencari data-data tentang Indonesia yang ada di berbagai server. Di salah satu server yang ada di Belanda, kami menemukan foto yang berisi tentang lagu ini," kata pengamat telematika Roy Suryo saat dihubungi detikcom, Sabtu (4/8/2007).Ia menjelaskan, versi asli Indonesia Raya ini berjudul 3 stanza atau 3 qouplet. "Lagu ini 3 kali lebih panjang dari yang kita kenal sekarang. Dan masih berbahasa Indonesia dalam ejaan yang belum disempurnakan," jelasnya.Roy memaparkan, lagu Indonesia Raya versi pertama itu isinya tidak jauh berbeda dengan yang kita dengarkan saat ini. "Isinya persatuan Indonesia, hubungan manusia Indonesia dengan Tuhannya, dan untuk membersihkan jiwa raganya, serta janji masyarakat Indonesia untuk mempertahankan negara ini," bebernya.Menurut Roy, dirinya juga mendapatkan cukup bukti bahwa lagu 3 stanza ini adalah versi asli dari Indonesia Raya. Bahkan di sejumlah dokumen antara 1928-1945 membuktikan bahwa lagu 3 stanza ini pernah digunakan.




"Ternyata setelah 18 Agustus 1945, lagu yang termuat adalah lagu yang ini," tukas Roy.Lagu Indonesia Raya yang diklaim versi asli ini pertama kali dipublikasikan oleh surat kabar Sin Po. Adapun liriknya:
Indonesia Tanah Airkoe
Tanah Toempah Darahkoe
Disanalah Akoe Berdiri Djadi Pandoe Iboekoe
Indonesia KebangsaankoeBangsa dan Tanah Airkoe
Marilah Kita BerseroeIndonesia Bersatoe
Hidoeplah Tanahkoe
Hidoeplah Negrikoe
Bangsakoe Ra'jatkoe Semw'wanja
Bangoenlah Jiwanja Bangoenlah Badannja
Oentoek Indonesia Raja
Reff:
Indonesia Raya Merdeka Merdeka
Tanahkoe Negrikoe jang Koetjinta
Indonesia Raja Merdeka Merdeka
Hidoeplah Indonesia Raja
Indonesia Tanah jang MoeliaTanah Kita jang Kaja
Di Sanalah Akoe Berdiri Oentoek Slama-lamanja
Indonesia Tanah Poesaka Poesaka Kita Semoeanja
Marilah Kita Mendo'a Indonesia Bahagia
Soeboerlah Tanahnja Soeboerlah Djiwanja
Bangsanja Ra'jatnja Sem'wanja
Sadarlah Hatinja Sadarlah Boedinja
Oentoek Indonesia Raja
Reff:
Indonesia Tanah Jang Soetji Tanah
Kita Jang Sakti Di Sanalah Akoe Berdiri' Njaga Iboe Sedjati
Indonesia Tanah Berseri Tanah Jang Akoe Sajangi
Marilah Kita Berdjandji Indonesia Abadi
Slamatlah Ra'jatnja Slamatlah Poetranja Poelaoenja, Laoetnja, Sem'wanja
Madjoelah Negrinja Madjoelah Pandoenja Oentoek Indonesia Raja
(ary/ash)

Monday, July 30, 2007

Pungutan Sekolah

dibawah ini saya lampirkan Editorial media Indonesia edisi Kamis 26 Juli 2007, memang seperti memakan buah simalakama, satu sisi ingin menjadikan pendidikan yang baik dilain sisi kalau ingin sekolah maju dan baik mau tidak mau harus ada budget lebih.

Kamis, 26 Juli 2007
EDITORIAL Media Indonesia
Benang Kusut Pungutan Sekolah
PUNGUTAN di sekolah masih saja marak setiap tahun ajaran baru tiba. Padahal, jargon sekolah gratis dan larangan memungut biaya tidak henti-hentinya dilontarkan para pejabat negara. Inilah cermin regulasi yang banci serta ketidakberdayaan negara.
Pemerintah memang telah menerapkan program wajib belajar sembilan tahun sekaligus menggratiskan biaya bagi anak didik di sekolah negeri mulai dari tingkat dasar hingga sekolah menengah pertama. Anak-anak di setiap jenjang pendidikan itu wajib bersekolah atau disekolahkan tanpa dipungut biaya satu sen pun.
Kebijakan penggratisan itu bahkan diperkuat oleh peraturan Menteri Pendidikan Nasional yang melarang sekolah negeri memungut biaya pada saat penerimaan siswa baru. Hampir di setiap kesempatan Menteri Pendidikan Bambang Soedibyo berulang kali menegaskan larangan itu.
Namun, fakta membuktikan pungutan di sekolah tetap berjalan. Mulai dari uang pendaftaran, daftar ulang, buku tulis, buku agenda, buku pelajaran, sampul plastik, seragam (baju dan celana), baju olahraga, dan sebagainya. Di luar itu ada juga pungutan bernama sumbangan pengembangan institusi. Total biaya berbagai pungutan itu mencapai ratusan ribu rupiah hingga jutaan rupiah. Ironisnya, yang benar-benar gratis hanyalah biaya sumbangan penyelenggaraan pendidikan.
Bancinya regulasi juga bisa dibuktikan dari penyediaan buku-buku pelajaran. Kendati ada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 11 Tahun 2005 tentang Buku Teks Pelajaran, yang mengatur masa pakai lima tahun, tiap tahun buku tetap berganti.
Karena itu, jargon sekolah gratis baru sebatas ilusi. Makna kebijakan sekolah gratis secara sadar dan terang-terangan didegresikan dan dipermainkan. Meski ada kebijakan penggratisan dan larangan, sekolah tetap melakukan pungutan.
Namun, persoalan pungutan di sekolah memang tidak berdiri sendiri. Ia menjadi bagian dari masih amburadulnya sistem pendidikan di negeri ini. Dari soal paradigma, kurikulum yang kerap berubah, prasarana dan sarana yang belum merata, hingga kesejahteraan guru yang rendah.
Negara, yang memiliki kewajiban utama menyediakan akses pendidikan, belum mampu memenuhi amanat konstitusi. Padahal, secara jelas konstitusi mengamanatkan alokasi anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN. Namun, hingga tahun ini pemerintah baru mampu dan mau mengalokasikan anggaran pendidikan 11,8% dari APBN.
Sepertinya negeri ini enggan dan malas belajar dari lompatan yang dilakukan oleh negara lain. Padahal, Jepang dan Malaysia bisa dijadikan acuan. Kedua negara itu sukses melakukan lompatan sektor pendidikan. Dan, ini terbukti menjadi fondasi yang kukuh untuk kemajuan di sektor-sektor lain.
Kedua negara itu memiliki kemampuan dan kemauan untuk mengalokasikan anggaran pendidikan dalam jumlah yang besar. Jepang mengalokasikan dana pendidikan 100 kali lebih besar daripada anggaran kita. Sedangkan Malaysia menyediakan anggaran 40% dari APBN-nya. Dan perlu diingat dan dicatat, alokasi anggaran pendidikan Indonesia paling rendah di antara negara-negara Asia Tenggara.
Ini membuktikan negara belum menjadikan pendidikan sebagai prioritas utama. Dengan kata lain, anak-anak usia sekolah belum dipandang sebagai aset bangsa dan negara. Mereka hanya dipandang sebagai ladang bisnis semata.
Tidak mengherankan kalau setiap tahun ajaran baru sekolah, apalagi sekolah swasta, berlomba-lomba melakukan pungutan tanpa takut dikenai sanksi. Sekolah tak peduli setiap ajaran baru banyak orang tua murid pusing tujuh keliling dengan beban rupa-rupa pungutan itu.

Wednesday, July 18, 2007

26.000 Guru Unjuk Rasa,
Kuningan dan Jl. Sudirman Bakal Macet
Chazizah Gusnita – detikcom

Jakarta - Macet sudah santapan sehari-hari di Jakarta. Kemacetan kian
menggila jika ada demo, termasuk Kamis (19/7/2007).
Sekitar pukul 09.00 WIB, sebanyak 26.000 guru yang tergabung dalam
Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Jawa Barat dan Banten akan
berunjuk rasa. Mereka akan mendatangi 5 titik yaitu Kantor Departemen
Keuangan sebanyak 1.000 orang, Istana Negara RI sebanyak 3.000 orang,
Gedung DPR/MPR RI sebanyak 12.000 orang, Kantor Depdiknas RI sebanyak
3.000 orang dan Depkum dan HAM sebanyak 7.000 orang.
"Mereka memulai aksi di masing-masing tempat pukul 09.00 WIB," ujar
petugas TMC Polda Metro Jaya Briptu Heri kepada detikcom.
Dikatakan Heri, tujuan dari aksi ini untuk meminta penambahan anggaran
pendidikan sebagaimana putusan MK dan meminta penerbitan PP Sertifikasi
Guru serta peninjauan kembali pelaksanan UAN.
"Bagi masyarakat yang melintasi tempat demo itu agar mencari jalan alternatif
lain untuk menghindari kemacetan," katanya. (ziz/nrl)

Tuesday, July 10, 2007

Guru Mogok,
Pendidikan di Jayawijaya Makin Buram
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0503/16/daerah/1619825.htm
Rabu, 16 Maret 2005
Guru Mogok, Pendidikan di Jayawijaya Makin Buram

Wamena, Kompas - Kondisi pendidikan di Kabupaten Jayawijaya, Papua, sampai kini
sangat memprihatinkan. Aksi unjuk rasa yang dilakukan 1.815 guru di Jayawijaya
yang menuntut pembayaran gaji belum juga berakhir dalam sebulan terakhir.
Padahal, perkembangan pembangunan di Jayawijaya sangat ditentukan oleh kemajuan
pembangunan pendidikan di daerah pedalaman Papua ini.
Kepala Dinas Pendidikan dan Pengajaran Nasional Provinsi Papua Jerry Haurissa
di Jayapura, Senin (14/3), mengemukakan, persoalan pendidikan di Jayawijaya
sangat menyedihkan. Terbukti, katanya, tidak ada yang memberi perhatian khusus
terhadap unjuk rasa yang dilakukan 1.815 guru.
Ia menunjukkan, kemerosotan mental di kalangan pejabat merupakan buah
pendidikan yang diselenggarakan asal ada ijazah, bukan memerhatikan kualitas
pendidikan itu sendiri.
Menurut dia, bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan pemberdayaan
ekonomi rakyat merupakan tuntutan utama dalam pembangunan otonomi khusus. Oleh
karena itu, dana otonomi khusus yang setiap tahun dibagikan kepada daerah
antara Rp 100 miliar- Rp 200 miliar per kabupaten/ kota diprioritaskan untuk
empat sektor tadi.
"Tetapi, kebijakan pemerintah kabupaten atau kota kadang berbeda dengan
kebijakan Undang-Undang Otonomi Khusus yang memberi prioritas pada empat sektor
tadi. Dana tersebut dimanfaatkan untuk kepentingan lain sehingga sektor
pendidikan diabaikan, seperti yang terjadi di Jayawijaya," ungkap Haurissa.
Berkeliaran
Aksi demo para guru selama satu bulan terakhir ini mengakibatkan sekitar 6.000
siswa di daerah itu tidak mendapatkan pendidikan seperti di daerah lain. Para
siswa berkeliaran di dalam kota Wamena, sebagian kembali ke kampung membantu
orangtua bekerja di ladang, sebagian lagi mengayuh becak atau bekerja di
toko-toko milik warga pendatang di Wamena.
Sementara itu, para guru yang tadinya menyebar di kampung-kampung dan distrik
di Jayawijaya saat ini menumpuk di Wamena. Mereka melakukan aksi demo menuntut
hak-hak yang belum dipenuhi Pemerintah Kabupaten Jayawijaya, seperti tunjangan
guru di daerah terpencil, tunjangan kemahalan, dan dana ujian akhir nasional.
Menurut Haurissa, tuntutan para guru ini sangat wajar, tetapi jangan
mengorbankan anak-anak karena bagaimana pun proses belajar mengajar harus terus
berjalan.
"Masih ada cara lain yang ditempuh para guru untuk menuntut hak kepada kepala
dinas setempat. Anak-anak jangan dikorbankan karena mereka adalah pemilik masa
depan dan penerus pembangunan di daerah itu," paparnya.
Ketika proses belajar mengajar berlangsung normal saja, lanjut Haurissa, masih
banyak lulusan SD dan SLTP di pedalaman tidak tahu tulis dan baca, apalagi
didera oleh aksi mogok mengajar para guru sampai berbulan-bulan. Aksi mogok
tersebut semakin mendorong generasi muda setempat makin tidak lagi
berkonsentrasi terhadap pendidikan.
Tidak seperti sekolah-sekolah di luar Papua, umumnya ketika terjadi mogok guru,
para siswa dengan dorongan orangtua berusaha melakukan kegiatan belajar sendiri.
Selama ini hampir seluruh kegiatan belajar di Papua disponsori sekolah. Para
orangtua murid di pedalaman tidak memiliki perhatian sama sekali terhadap
pendidikan. Anak- anak dibiarkan berjuang sendiri di sekolah, bahkan anak- anak
ke sekolah pun tidak diberi makanan, buku tulis, dan fasilitas sekolah lain.
Para guru yang mempunyai pekerjaan tetap pun mengeluh soal biaya hidup
sehari-hari, apalagi para siswa dan orangtua siswa. Para orangtua ini hidup
berpindah-pindah tempat sesuai dengan persediaan hasil hutan di suatu lokasi.
Ketika di suatu daerah terdapat makanan yang cukup, mereka menetap cukup lama;
ketika persediaan makanan habis, mereka pun berpindah tempat lagi.
Titip anak
Saat orangtua mengembara di hutan, mereka menitipkan anak-anaknya di kampung
karena masih bersekolah. Saling menitipkan anak untuk mengikuti pendidikan di
kampung karena orangtua mengembara mencari makanan di hutan ini menjadi satu
kebiasaan di kalangan masyarakat pedalaman yang masih bergantung penuh pada
alam.
Runyamnya, selama di tangan orangtua asuh, sang anak tidak mendapat perhatian
sama sekali. Anak-anak hanya dapat makan satu kali dalam sehari.
Di sejumlah distrik di Kabupaten Yahokimo, misalnya, setiap hari ada ratusan
orangtua siswa berdiri menunggu di sekitar gedung sekolah dasar. Mereka
menjemput anak-anak untuk pergi ke hutan mencari makanan. Jika para orangtua
ini bosan menunggu, mereka mencari anaknya lalu secara diam-diam membawa pergi
anaknya dari sekolah.
Ada orangtua mempertanyakan, mengapa anak-anaknya setiap hari ke sekolah,
tetapi tidak pintar-pintar. Mengapa guru tidak segera memberi ijazah kepada
anak-anak itu? Ada pula orangtua secara sepihak memberhentikan anaknya dari
sekolah karena sudah tidak mampu mengembara sendirian di hutan mencari makanan.
Nus Gomboh, Kepala Suku Kampung Nalca, Distrik Ninia, Kabupaten Yahokimo,
ketika ditemui di Wamena menyatakan, hampir semua orangtua di daerah pedalaman
belum paham mengenai pentingnya pendidikan. Anak-anak pedalaman, begitu dapat
berjalan dan dapat diperintah mengerjakan sesuatu oleh orangtuanya, menjadi
tumpuan harapan para orangtua.
"Sebagian orangtua merasa rugi ketika anak-anak setiap hari duduk di sekolah
mendengar cerita dari guru, sedangkan di rumah mereka menyediakan makan," papar
Gomboh. "Banyak orangtua berpikir anak-anak dilahirkan untuk membantu orangtua
sehingga ketika program wajib belajar mengharuskan anak-anak duduk di sekolah,
itu kerugian besar bagi orangtua."
Gomboh menambahkan, orangtua di Kabupaten Jayawijaya umumnya tidak paham
mengenai fungsi pendidikan, sebagai proses investasi masa depan anak. Mereka
ingin mendapatkan hasil langsung ketika seorang anak pergi ke sekolah, seperti
ketika mereka pergi ke hutan dan langsung mendapatkan makanan untuk kebutuhan
hari itu.
Hampir sebagian besar orangtua di Jayawijaya tidak mengenyam pendidikan dasar.
Mereka ramai-ramai mengirim anak ke sekolah lebih karena imbauan dan desakan
dari pemerintah daerah setempat.
Relawan Lembaga Studi dan Advokasi HAM (Elsham) Papua di Wamena, Tandi Kogoya,
mengemukakan, anak-anak pedalaman yang berhasil melanjutkan pendidikan ke SLTP
dan SMA/SMK di Wamena atau di Jayapura berkat kerja keras anak yang
bersangkutan. (kor)
RADAR TULUNGAGUNG

Selasa, 10 Juli 2007

Selasa, 26 Juni 2007
Dianaktirikan, Guru TK Demo

Minta Insentif Disamakan dengan Guru SD dan SMP BLITAR- Kesetaraan soal kesejahteraan, itulah yang dituntut Forum Guru Tidak Tetap TK Blitar Bersatu kemarin. Ratusan massa kembali ngluruk ke kantor DPRD setempat. Kali ini, mereka mendesak agar insentif untuk guru TK sama dengan yang diterima oleh guru SD maupun SMP. Massa yang mendatangi kantor DPRD Jl Merdeka sekitar pukul 10.00 wib itu dengan menggunakan ratusan sepeda motor. Petugas kepolisian pun mengawal aksi tersebut. Dalam aksi tersebut para perwakilan guru diterima oleh komisi IV dan kepala dinas pendidikan dan kebudayaan setempat. Di pertemuan itu massa mendesak kepada eksekutif dan legislatif untuk menambah besarnya tunjangan insentif yang diterima guru TK selama ini. Sebab, insentif yang diterima dirasa tidak adil. Guru TK seperti dianaktirikan. Untuk guru TK, insentifnya hanya Rp 100 ribu per bulan. Sedang guru SD dan SMP menerima Rp 125 ribu per bulan. Padahal, beban tanggung jawab guru SD dengan SD maupun SMP sama beratnya. Adu argumentasi dalam pertemuan itu terjadi. Namun, tampaknya usaha guru TK tidak membuahkan hasil. Merekapun mengaku pasrah. Ketua FGTT TK Blitar Bersatu Didik Dukan Choiri mengatakan, sebenarnya yang dikehendaki guru TK, tunjangannya bisa lebih Rp 100 ribu. Mereka minta disamakan antara guru TK, SD dan SMP. Karena, guru guru itu bebas tugasnya sama dalam hal memegang tanggung jawab. Namun kenapa insentif guru Tk lebih kecil dari guru SD dan SMP. "Mestinya sih kami ingin sejajar dengan SD dan SMP, yang intensifnya lebih dari Rp 125 000 per bulan. Namun, Dinas menyatakan tidak mungkin. Kalau begitu kami ya pasrah, meski kecewa," katanya.Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan kabupaten Blitar Riyanto usai pertemuan dikonfirmasi mengatakan tidak mungkin mengabulkan permintaan guru TK. Riyanto mengatakan, tidak mungkin menyamakan insentif para guru tersebut. Toh, dilihat dari kerja dan tanggung jawabnya saja berbeda. "Ya tidak mungkinlah permintaan itu diterima. Jadi, TK dan SD serta SMP harus beda," katanya saat didampingi Ketua Komisi IV DPRD Abdul Munib. (ika)

Thursday, May 24, 2007

guru

pengabdianmu adalah sebagai pahlawan tanpa tanda jasa