Tuesday, July 10, 2007

Guru Mogok,
Pendidikan di Jayawijaya Makin Buram
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0503/16/daerah/1619825.htm
Rabu, 16 Maret 2005
Guru Mogok, Pendidikan di Jayawijaya Makin Buram

Wamena, Kompas - Kondisi pendidikan di Kabupaten Jayawijaya, Papua, sampai kini
sangat memprihatinkan. Aksi unjuk rasa yang dilakukan 1.815 guru di Jayawijaya
yang menuntut pembayaran gaji belum juga berakhir dalam sebulan terakhir.
Padahal, perkembangan pembangunan di Jayawijaya sangat ditentukan oleh kemajuan
pembangunan pendidikan di daerah pedalaman Papua ini.
Kepala Dinas Pendidikan dan Pengajaran Nasional Provinsi Papua Jerry Haurissa
di Jayapura, Senin (14/3), mengemukakan, persoalan pendidikan di Jayawijaya
sangat menyedihkan. Terbukti, katanya, tidak ada yang memberi perhatian khusus
terhadap unjuk rasa yang dilakukan 1.815 guru.
Ia menunjukkan, kemerosotan mental di kalangan pejabat merupakan buah
pendidikan yang diselenggarakan asal ada ijazah, bukan memerhatikan kualitas
pendidikan itu sendiri.
Menurut dia, bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan pemberdayaan
ekonomi rakyat merupakan tuntutan utama dalam pembangunan otonomi khusus. Oleh
karena itu, dana otonomi khusus yang setiap tahun dibagikan kepada daerah
antara Rp 100 miliar- Rp 200 miliar per kabupaten/ kota diprioritaskan untuk
empat sektor tadi.
"Tetapi, kebijakan pemerintah kabupaten atau kota kadang berbeda dengan
kebijakan Undang-Undang Otonomi Khusus yang memberi prioritas pada empat sektor
tadi. Dana tersebut dimanfaatkan untuk kepentingan lain sehingga sektor
pendidikan diabaikan, seperti yang terjadi di Jayawijaya," ungkap Haurissa.
Berkeliaran
Aksi demo para guru selama satu bulan terakhir ini mengakibatkan sekitar 6.000
siswa di daerah itu tidak mendapatkan pendidikan seperti di daerah lain. Para
siswa berkeliaran di dalam kota Wamena, sebagian kembali ke kampung membantu
orangtua bekerja di ladang, sebagian lagi mengayuh becak atau bekerja di
toko-toko milik warga pendatang di Wamena.
Sementara itu, para guru yang tadinya menyebar di kampung-kampung dan distrik
di Jayawijaya saat ini menumpuk di Wamena. Mereka melakukan aksi demo menuntut
hak-hak yang belum dipenuhi Pemerintah Kabupaten Jayawijaya, seperti tunjangan
guru di daerah terpencil, tunjangan kemahalan, dan dana ujian akhir nasional.
Menurut Haurissa, tuntutan para guru ini sangat wajar, tetapi jangan
mengorbankan anak-anak karena bagaimana pun proses belajar mengajar harus terus
berjalan.
"Masih ada cara lain yang ditempuh para guru untuk menuntut hak kepada kepala
dinas setempat. Anak-anak jangan dikorbankan karena mereka adalah pemilik masa
depan dan penerus pembangunan di daerah itu," paparnya.
Ketika proses belajar mengajar berlangsung normal saja, lanjut Haurissa, masih
banyak lulusan SD dan SLTP di pedalaman tidak tahu tulis dan baca, apalagi
didera oleh aksi mogok mengajar para guru sampai berbulan-bulan. Aksi mogok
tersebut semakin mendorong generasi muda setempat makin tidak lagi
berkonsentrasi terhadap pendidikan.
Tidak seperti sekolah-sekolah di luar Papua, umumnya ketika terjadi mogok guru,
para siswa dengan dorongan orangtua berusaha melakukan kegiatan belajar sendiri.
Selama ini hampir seluruh kegiatan belajar di Papua disponsori sekolah. Para
orangtua murid di pedalaman tidak memiliki perhatian sama sekali terhadap
pendidikan. Anak- anak dibiarkan berjuang sendiri di sekolah, bahkan anak- anak
ke sekolah pun tidak diberi makanan, buku tulis, dan fasilitas sekolah lain.
Para guru yang mempunyai pekerjaan tetap pun mengeluh soal biaya hidup
sehari-hari, apalagi para siswa dan orangtua siswa. Para orangtua ini hidup
berpindah-pindah tempat sesuai dengan persediaan hasil hutan di suatu lokasi.
Ketika di suatu daerah terdapat makanan yang cukup, mereka menetap cukup lama;
ketika persediaan makanan habis, mereka pun berpindah tempat lagi.
Titip anak
Saat orangtua mengembara di hutan, mereka menitipkan anak-anaknya di kampung
karena masih bersekolah. Saling menitipkan anak untuk mengikuti pendidikan di
kampung karena orangtua mengembara mencari makanan di hutan ini menjadi satu
kebiasaan di kalangan masyarakat pedalaman yang masih bergantung penuh pada
alam.
Runyamnya, selama di tangan orangtua asuh, sang anak tidak mendapat perhatian
sama sekali. Anak-anak hanya dapat makan satu kali dalam sehari.
Di sejumlah distrik di Kabupaten Yahokimo, misalnya, setiap hari ada ratusan
orangtua siswa berdiri menunggu di sekitar gedung sekolah dasar. Mereka
menjemput anak-anak untuk pergi ke hutan mencari makanan. Jika para orangtua
ini bosan menunggu, mereka mencari anaknya lalu secara diam-diam membawa pergi
anaknya dari sekolah.
Ada orangtua mempertanyakan, mengapa anak-anaknya setiap hari ke sekolah,
tetapi tidak pintar-pintar. Mengapa guru tidak segera memberi ijazah kepada
anak-anak itu? Ada pula orangtua secara sepihak memberhentikan anaknya dari
sekolah karena sudah tidak mampu mengembara sendirian di hutan mencari makanan.
Nus Gomboh, Kepala Suku Kampung Nalca, Distrik Ninia, Kabupaten Yahokimo,
ketika ditemui di Wamena menyatakan, hampir semua orangtua di daerah pedalaman
belum paham mengenai pentingnya pendidikan. Anak-anak pedalaman, begitu dapat
berjalan dan dapat diperintah mengerjakan sesuatu oleh orangtuanya, menjadi
tumpuan harapan para orangtua.
"Sebagian orangtua merasa rugi ketika anak-anak setiap hari duduk di sekolah
mendengar cerita dari guru, sedangkan di rumah mereka menyediakan makan," papar
Gomboh. "Banyak orangtua berpikir anak-anak dilahirkan untuk membantu orangtua
sehingga ketika program wajib belajar mengharuskan anak-anak duduk di sekolah,
itu kerugian besar bagi orangtua."
Gomboh menambahkan, orangtua di Kabupaten Jayawijaya umumnya tidak paham
mengenai fungsi pendidikan, sebagai proses investasi masa depan anak. Mereka
ingin mendapatkan hasil langsung ketika seorang anak pergi ke sekolah, seperti
ketika mereka pergi ke hutan dan langsung mendapatkan makanan untuk kebutuhan
hari itu.
Hampir sebagian besar orangtua di Jayawijaya tidak mengenyam pendidikan dasar.
Mereka ramai-ramai mengirim anak ke sekolah lebih karena imbauan dan desakan
dari pemerintah daerah setempat.
Relawan Lembaga Studi dan Advokasi HAM (Elsham) Papua di Wamena, Tandi Kogoya,
mengemukakan, anak-anak pedalaman yang berhasil melanjutkan pendidikan ke SLTP
dan SMA/SMK di Wamena atau di Jayapura berkat kerja keras anak yang
bersangkutan. (kor)

No comments: