Monday, July 30, 2007

Pungutan Sekolah

dibawah ini saya lampirkan Editorial media Indonesia edisi Kamis 26 Juli 2007, memang seperti memakan buah simalakama, satu sisi ingin menjadikan pendidikan yang baik dilain sisi kalau ingin sekolah maju dan baik mau tidak mau harus ada budget lebih.

Kamis, 26 Juli 2007
EDITORIAL Media Indonesia
Benang Kusut Pungutan Sekolah
PUNGUTAN di sekolah masih saja marak setiap tahun ajaran baru tiba. Padahal, jargon sekolah gratis dan larangan memungut biaya tidak henti-hentinya dilontarkan para pejabat negara. Inilah cermin regulasi yang banci serta ketidakberdayaan negara.
Pemerintah memang telah menerapkan program wajib belajar sembilan tahun sekaligus menggratiskan biaya bagi anak didik di sekolah negeri mulai dari tingkat dasar hingga sekolah menengah pertama. Anak-anak di setiap jenjang pendidikan itu wajib bersekolah atau disekolahkan tanpa dipungut biaya satu sen pun.
Kebijakan penggratisan itu bahkan diperkuat oleh peraturan Menteri Pendidikan Nasional yang melarang sekolah negeri memungut biaya pada saat penerimaan siswa baru. Hampir di setiap kesempatan Menteri Pendidikan Bambang Soedibyo berulang kali menegaskan larangan itu.
Namun, fakta membuktikan pungutan di sekolah tetap berjalan. Mulai dari uang pendaftaran, daftar ulang, buku tulis, buku agenda, buku pelajaran, sampul plastik, seragam (baju dan celana), baju olahraga, dan sebagainya. Di luar itu ada juga pungutan bernama sumbangan pengembangan institusi. Total biaya berbagai pungutan itu mencapai ratusan ribu rupiah hingga jutaan rupiah. Ironisnya, yang benar-benar gratis hanyalah biaya sumbangan penyelenggaraan pendidikan.
Bancinya regulasi juga bisa dibuktikan dari penyediaan buku-buku pelajaran. Kendati ada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 11 Tahun 2005 tentang Buku Teks Pelajaran, yang mengatur masa pakai lima tahun, tiap tahun buku tetap berganti.
Karena itu, jargon sekolah gratis baru sebatas ilusi. Makna kebijakan sekolah gratis secara sadar dan terang-terangan didegresikan dan dipermainkan. Meski ada kebijakan penggratisan dan larangan, sekolah tetap melakukan pungutan.
Namun, persoalan pungutan di sekolah memang tidak berdiri sendiri. Ia menjadi bagian dari masih amburadulnya sistem pendidikan di negeri ini. Dari soal paradigma, kurikulum yang kerap berubah, prasarana dan sarana yang belum merata, hingga kesejahteraan guru yang rendah.
Negara, yang memiliki kewajiban utama menyediakan akses pendidikan, belum mampu memenuhi amanat konstitusi. Padahal, secara jelas konstitusi mengamanatkan alokasi anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN. Namun, hingga tahun ini pemerintah baru mampu dan mau mengalokasikan anggaran pendidikan 11,8% dari APBN.
Sepertinya negeri ini enggan dan malas belajar dari lompatan yang dilakukan oleh negara lain. Padahal, Jepang dan Malaysia bisa dijadikan acuan. Kedua negara itu sukses melakukan lompatan sektor pendidikan. Dan, ini terbukti menjadi fondasi yang kukuh untuk kemajuan di sektor-sektor lain.
Kedua negara itu memiliki kemampuan dan kemauan untuk mengalokasikan anggaran pendidikan dalam jumlah yang besar. Jepang mengalokasikan dana pendidikan 100 kali lebih besar daripada anggaran kita. Sedangkan Malaysia menyediakan anggaran 40% dari APBN-nya. Dan perlu diingat dan dicatat, alokasi anggaran pendidikan Indonesia paling rendah di antara negara-negara Asia Tenggara.
Ini membuktikan negara belum menjadikan pendidikan sebagai prioritas utama. Dengan kata lain, anak-anak usia sekolah belum dipandang sebagai aset bangsa dan negara. Mereka hanya dipandang sebagai ladang bisnis semata.
Tidak mengherankan kalau setiap tahun ajaran baru sekolah, apalagi sekolah swasta, berlomba-lomba melakukan pungutan tanpa takut dikenai sanksi. Sekolah tak peduli setiap ajaran baru banyak orang tua murid pusing tujuh keliling dengan beban rupa-rupa pungutan itu.

No comments: